“RAA POERBONEGORO SOEMITRO KOLOPAKING”, Bupati yang merajut tokoh lokal

Berita

Merupakan Bupati Banjarnegara yang mengalami pemerintahan tiga jaman yaitu Jaman Penjajahan Belanda, Jaman Penjajahan Jepang dan Setelah Proklamasi menjadi NKRI. Bupati Soemitro Kolopaking yang menjabat dari  tahun 1927 hingga tahun 1947.

Pada masa pemerintahan Bupati Sumitro Kopopaking, jumlah desa di Kabupaten Banjarnegara sudah semakin banyak, yaitu 264 desa. Jika dibandingkan dengan awal pembentukan Kabupaten Banjarnegara ketika dipimpin Bupati KRT Dipayuda IV tahun 1831, jumlah desa di Kabupaten Banjarnegara hanya 75 desa.

Pada masa kepemimpinan Bupati Sumitro Kolopaking, disetiap 4 – 5 desa disatukan secara psikologis oleh seorang pinisepuh dengan mengangkat seorang Penatus ( di Wilayah Kedu disebut Glondong). Soemitro Kolopaking dikenal sebagai Bupati yang mampu membina hubungan baik dengan desa-desa dan membangun hubungan persaudaraan. Ia mampu merajut ketokohan lokal dengan menciptakan sistem hubungan kemasyarakatan yang efisien dan produktif.

Sebagai seorang Bupati, Sumitro Kolopaking menganggap laporan resmi dan rutin berbagai permasalahan sebagai hal yang sangat penting dilaksanakan. Pada masa Bupati Sumitro, sudah mengenal pelaporan bertingkat, semisal laporan yang dibuat oleh para Camat dikirim kepada Bupati melalui  Wedana. Berdasarkan laporan Wedana tersebut, Bupati mengadakan inspeksi langsung dan melakukan riset/penelitian. Inspeksi langsung dan riset ini diikuti oleh Wedana, Camat, dan Para Lurah/Kepala desa. Pada permaslahan tertentu apabila diperlukan akan menyertakan Pegawai di lingkungan Kabupaten dimasing-masing bidang, seperti Kepolisian, Pertanian, Pengairan, Keagamaan, Pendidikan dan sebagainya.

Bagi Bupati Sumitro, laporan bawahannya saja tidak cukup. Bupati menjalin hubungan kemasyarakatan dengan desa secara pribadi dan rahasia. Mungkin semacam Blusukan yang dilakukan oleh pemimpin pada saat ini. Untuk itu Bupati mengangkat Penatus yang jujur, progresif dengan ukuran desa, berani, terus terang dan memiliki pengalaman hidup yang luas baik diluar maupun di desa itu.

Pada saat itu belum terdapat peralatan teknologi media komunikasi, sehingga Bupati memilih untuk   mendatangi para Penatus. Jam kunjungan dipilih selepas maghrib, karena umumnya para Penatus sudah selesai bekerja di ladang. Bupati akan mendatangi para Penatus sendirian dengan membawa senapan angin (ketika itu) untuk membidik hewan musuh pertanian.

Dalam kunjungannya Bupati mengenakan pakaian yang sangat sederhana dengan membawa oleh-oleh berupa kue, tempe keripik, kacang goreng, dan sebagainya sebagai simbol persaudaraan dan kesederhanaan. Bupati akan menyapa para Penatus/Pinisepuh ini dengan sebutan ‘Kaki’, sebaliknya masyarakat pedusunan memanggil beliau dengan ucapan ‘Ndara Kanjeng’. Dalam sekejap kabar kedatangan “Ndara Kanjeng” menjadi magnet bagi masyarakat yang serentak menghimpun tetangga kanan-kiri dan masyarakat sedusun untuk menemui Bupati.

Dalam pertemuan dengan warganya, Bupati lebih memilih banyak mendengarkan dengan senang hati dan terbuka keterangan dan masukan dari masyarakat. Bupati memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, ‘ngudarasa’ permasalahan, unek-unek dibidang ekonomi, pertanian, sosial dan masalah lainnya yang dianggap urgen dipedusunan.

Sebelum tengah malam,  Bupati Soemitro menyudahi kunjungan dan kembali ke kediaman dengan berjalan kaki 8-10 km dan diantar oleh 3-4 pemuda yang membawa obor. Kendaraan Bupati memang sengaja parkir di jalan besar yang jauh dari pedusunan sehingga Bupati bisa berganti-ganti mengunjungi para Penatus untuk menyerap aspirasi masyarakat.

Pada otobiografi “Buku Coret-coretan Pengalaman Sepanjang Masa” , Soemitro Kolipaking menulis kesaksian: “Demikianlah saya menghubungi berganti-ganti semua penatusan, dan lama-kelamaan terlihatlah kemajuan desa dalam beberapa bidang. Dengan inti kerjasama, orang-orang tua dalam sistem ini merupakan ‘spear point’ (ujung tombak), yang dapat menerobos dan menyingkirkan secara diam-diam puluhan, bahkan ratusan kesulitan dan pertengkaran, tanpa kekerasan dan tanpa biaya sedikitpun.”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan