Ditengah kehidupan yang makin materialis, dimana masyarakat minim teladan akan hidup sederhana, sosok Bupati Banjarnegara “Tiga Jaman” Raden Arya Adipati Poerbonegoro Soemitro Kolopaking adalah salah satu inspirasi dan teladan bagi pejabat negara yang konsisten hidup bersahaja, disamping kekurangan yang dimiliki.
Soemitro Kolopaking lahir di Papringan, Banyumas pada tanggal 14 Juni 1887. Dari keluarga bangsawan. Ia mengenyam Sekolah Jawa (1893-1896), ELS (1896-1901) dan Gymnasium Willem III (1901-1907). Lalu melanjutkan studi sebagai Mahasiswa Indologi di Leiden Belanda (1907-1914).
Selama menjadi mahasiswa, Soemitro gemar melanglang buana ke berbagai negara dengan menjadi kuli/pekerja kasar di pertambangan dan pabrik kayu. Soemitro melakukan itu untuk mencari pengalaman hidup dan mencari tambahan untuk biaya kuliah, padahal seorang anak pejabat.
Walaupun ayahnya seorang Bupati, yaitu Bupati Joyonegoro II, keseharian Soemitro di didik hidup bersahaja yang ditanamkan kuat sejak kecil dikeluarga. Dalam biografinya Soemitro mengakui:
“Dari kecil mula saya oleh orang tuaku dididik untuk selalu hidup sesederhana mungkin, tidak menghiraukan pangkat-pangkat yang tinggi dan tidak menghiraukan turunan bangsawan. Tidak pula menghiraukan pujian, tidak menghiraukan popularitas yang kosong, partai-partai dan ormas-ormas, dan lainnya bersama-sama Pak Kromo di pedusunan, Mbok Bikah dan Mbok Sarwinem diwarung kecil, serta pedagang-pedagang pasar di desa. Mereka semua itu adalah Saudaraku”.
Tidak jarang saat blusukan di wilayah pelosok, Bupati Soemitro berkenan istirahat tengah hari (rolasan) dengan makan dan minum bersama kelompok masyarakat yang sedang bergotong royong. Tidak sungkan, ia turut makan dan minum di tanggul atau jalan yang sedang dibangun atau dekat saluran irigasi yang baru digali.
Kedekatan yang dibangun dengan baik antara pejabat tinggi dan masyarakat dimaksudkan untuk mematahkan mitos sakral jabatan dari kaum kolot. Ia menegaskan : “Ada yang berkata, itu tidak sesuai dengan kedudukan seorang pegawai tinggi, dan akan memerosot kedudukan seorang pegawai tinggi, dan akan memerosotkan prestise seorang pembesar?”
Soemitro menjawab sendiri :
“Tidak, pada mulanya cara kekerja sama begitu memang dulunya dianggap aneh oleh rakyat jelata dan kaum feodal. Sekarang dimasa ‘civic mission’ anggapan kolot itu telah berkurang atau lenyap. Sebaliknya, rasa persaudaraan dan saling percaya dengan perlahan-lahan mulai bertambah dan berkembang.”
Bagi Soemitro Kolopaking, pekerja kasar seperti memikul batu atau tanah, masuk keselokan untuk mengatur air supaya sawahnya subur, atau mencangkul di tegalan, adalah pekerjaan yang phisiknya kotor, tapi mentalnya bersih.
Kemudian Soemitro menyindir : “Berlainan sekali dengan menjalankan pekerjaan profesi secara cakap, ahli dan halus, tapi mudah muncul manipulasi-manipulasi yang ditunjukan ke korupsi yang bermacam-macam.”